Rabu, 19 Mei 2010

LAILA MAJNUN Karangan Syaikh Nizami

Di editting samick wongsae

LAILA MAJNUN karangan syaikh Nizami

Kisah Laila majnun ditulis oleh seorang sufi timur tengah yakni Syaikh Sufi Mawlana Hakim Nizhami Gandawi. Kisah Laila Majnun adalah kisah Cinta dengan tokoh Imra’il Qais dan Laila yang berakhir dengan penderitan, kesedihan, perjuangan dan pengorbanan. Kisah cinta yang ditulis pada abad XI Masehi ini sangat fenomenal sampai saat ini. Begitu kesohor dan fenomenanlnya shg meginspirasi kisa-kisan cinta sepanjang jaman. Bahkan konon cerita Romeo dan Yuliet yang ditulis oleh William Shakespeare juga terinspirasi oleh cerita Laila Majnun.

Cerita ini diawali oleh seorang kepala suku yang kesohor dan kaya raya namun tidak dikaruniai seorang anak. Jabatan kepala suku, nama besar, harta melimpah dan pujian orang serasa tidak ada harganya tanpa seorang anak. Berbagai cara dan upaya telah dilakukan. Melalui berbagai tabib dan pengobatan pun pernah jalankan namun belum menuai hasil. Akhirnya sang kepala suku bersimpuh dan memohon kepada Allah SWT seraya berdo’a ” . “Wahai Segala Kekasih, jangan biarkan pohon kami tak berbuah. Izinkan kami merasakan manisnya menimang anak dalam pelukan kami. Anugerahkan kepada kami tanggung jawab untuk membesarkan seorang manusia yang baik. Berikan kesempatan kepada kami untuk membuat-Mu bangga akan anak kami.”

Akhirnya Tuhan menganugerahi mereka seorang anak laki-laki yang diberi nama Imra’il Qais. Sang ayah sangat berbahagia, karena anaknya Qais dicintai oleh semua orang. Ia tampan, bermata bulat dan besar, dan berambut hitam sehingga menjadi pusat perhatian dan kekaguman semua. Selian itu, Qais dikarunia kecerdasan dan kemampuan yang istimewa. Ia punya bakat luar biasa dalam mempelajari, memainkan musik, menggubah syair dan melukis.

Qais yang beranjak dewasa mulai masuk ke sekolah teladan yang dibina oleh guru-guru terbaik. Hanya putra dan putri orang bangsawan dan pengusaha yang masuk sekolah tsb Salah satu muridnya adalah Laila yang juga putri seorang kepala suku. Lailah adalah gadis yang sangat cantik, rambutnya yang hitam dan panjang terurai kebawah pinggul, hidung yang mancung, bibir yang merah merekah serta matanya yang hitam. Karena alasan inilah Laila mendapat sebutan ”Sang Malam”. Akibat kecantikannya inilah banyak kaum pria teman sekelanya menyukainya. Salah satu yang menyuaki adal;ah Qais. Dan karena ketampanan Qais ternyata Laila juga menaruh hati kepada Qai.

Api asmara telah membakar kedua remaja yang sedang dimabok cinta. Sekolah bukanlah tempat belajar namun tempat mereka bertemu dan memadu kasih, Guru yang mengajar telah diluapankan karena mereka berdua selalu berpandangan. Saat belajar menulis, mereka hanya menulis nama mereka berdua.

Akibat cinta mereka mulai tuli dan buta terhadap keadaan sekitarnya. Akhirnya teman sekelas mulai mengetahui dan lambat laun masyarakat mulai mempergunjingkan mereka berdua. Karena pada zaman itu tida pantas seorang remaja belia dapat memadu kasih sefulgar mereka berdua.

Bara api cinta mereka semakin besar, sehingga saat Laila tidak ada diruang kelas sang qais selalu mencari kemana-mana dan selalu memnggil nama-nama qais. Qais menyusuri jalanan dan memanggil-manggil nama Laila. Sehingga orang-orang disekitarnya menjadi risih dan membicarakannya. Akibat prilaku qais yang selalu menyebut-nyebut nama laila dan mengumandangkan syair-syair cinta kepada laila, maka orang-orang mengira Qais telah Gila. Qais telah tergila-gila kepada Laila sehingga terkenal dengan ” Laila Majnun”.

Kisah tentang Qais yang majnun (Gila) juga didengar oleh orang tua Laila, sehingga mereka melarang Laila keluar rumah. Karena orang tuanya juga tahu bahwa Laila sangat mencintai sang Majnun. Orang tua laila malu jika putrinya harus bersanding dengan seorang Majnun.

Majnun tidak menghiraukan gunjingan orang karena yang ada dalam hatinya hanyalah keinganan bertemu dengan Laila. Namun setiap kedatangan Majnun kerulah Laila selalu diusir oleh orang tua Laila. Sehingga Majnun menemukan sebuah tempat di puncak bukit dekat desa Laila dan membangun sebuah gubuk untuk dirinya yang menghadap rumah Laila. Sepanjang hari Majnun duduk-duduk di depan gubuknya, disamping sungai kecil berkelok yang mengalir ke bawah menuju desa itu. Ia berbicara kepada airyan menghanyutkan dedaunan bunga liar, dan Majnun merasa yakin bahwa sungai itu akan menyampaikan pesan cintanya kepada Laila. Ia menyapa burung-burung dan meminta mereka untuk terbang kepada Laila utnuk meyampaikan salam dan pesan.

Ia menghirup angin dari barat yang melewati desa Laila serasa menghirup harum tubuh Laila. Jika kebetulan ada seekor anjing tersesat yang berasal dari desa Laila, ia pun memberinya makan dan merawatnya, mencintainya seolah-olah anjing suci, menghormatinya dan menjaganya sampai tiba saatnya anjing itu pergi jika memang mau demikian. Segala sesuatu yang berasal dari tempat kekasihnya dikasihi dan disayangi sama seperti kekasihnya sendiri.

Sementara Laila, Sejak ia berhenti masuk sekolah tidak melakukan apapun kecuali memikirkan Qais. Yang cukup mengherankan, setiap kali ia mendengar burung-burung berkicau dari jendela atau angin berhembus semilir, ia memejamkan.matanya sembari membayangkan bahwa ia mendengar suara Qais didalamnya. Ia akan mengambil dedaunan dan bunga yang dibawa oleh angin atau sungai dan tahu bahwa semuanya itu berasal dari Qais. Hanya saja, ia tak pernah berbicara kepada siapa pun, bahkan juga kepada sahabat-sahabat terbaiknya, tentang cintanya.

Bulan demi bulan berlalu dan Majnun tidak menemukan jejak Laila. Kerinduannya kepada Laila demikian besar sehingga ia merasa tidak bisa hidup sehari pun tanpa melihatnya kembali. Terkadang sahabat-sahabatnya di sekolah dulu datang mengunjunginya, tetapi ia berbicara kepada mereka hanya tentang Laila, tentang betapa ia sangat kehilangan dirinya.

Keadaan majnun yang tragis dan sangat menderita didengar oleh sang ayahnya. Sehingga ayah majnun datang ke rumah Laila untuk melamarnya. Sebuah kafilah penuh dengan hadiah mewah dibawanya ke rumah Laila. Dan diterima dengan baik oleh orang tua Laila sehingga keduanya terlibat perbincangan. “Engkau tahu benar, kawan, bahwa ada dua hal yang sangat penting bagi kebahagiaan, yaitu “Cinta dan Kekayaan”. Anak lelakiku mencintai anak perempuanmu, dan aku bisa memastikan bahwa aku
sanggup memberi mereka cukup banyak uang untuk mengarungi kehidupan yang bahagia
dan menyenangkan. Mendengar hal itu, ayah Laila pun menjawab, “Bukannya aku
menolak Qais. Aku percaya kepadamu, sebab engkau pastilah seorang mulia dan
terhormat,” jawab ayah Laila. “Akan tetapi, engkau tidak bisa menyalahkanku
kalau aku berhati-hati dengan anakmu. Semua orang tahu perilaku abnormalnya.
Ia berpakaian seperti seorang pengemis. Ia pasti sudah lama tidak mandi dan
iapun hidup bersama hewan-hewan dan menjauhi orang banyak. “Tolong katakan
kawan, jika engkau punya anak perempuan dan engkau berada dalam posisiku,
akankah engkau memberikan anak perempuanmu kepada anakku?”

Ayah Majnun tidak mampu berkata dan membantah. Putranya yang dahulu gagah dan tampan sehingga menjadi pujaan para gadis berubah menjadi lelaki gila, kotor, gelandangan dan tak terurus.

Melihat keadaan yang demikian maka ayah Majnun dan Sahabat-sahabat Majnun membawa pulang sang Majnun. Diadakanlah pesta dengan mengundang para gadis-gadis cantik. Gadis-gadis yang hadir di hias sehingga paras semakin cantik dan diberi pakaian yang mewah. Siapa tahu dari sekian gadis ada yang menarik perhatian Majnun dan bisa meluapakan Laila. Namun tak sedikitpun Majnun tertarik kepada gadis yang datang walapun gadis tersebut cantik-cantik. Majnun hanya melihat satu persatu gadis yang datang dengan barharap ada Laila ditengah gadis-gadis tersebut. Karena tidak menemukan Laila sehingga Majnun menganggap ayah dan sahabatany telah berlaku tidak adil dan kasar sehingga Majnun menangis sangat hebat dan jatuh pingsan.

Melihat keadaan semakin Parah, Ayah Majnun membawanya untuk pergi menunaikan Ibadah Haji. Dengan harapan Allah bisa memberikan jalan dan membuka hati Majnun dan bisa melupakan Laila. Namun yang terjadi adalah Majnun bersujut di depan Kabah dan berdo’a “Wahai Yang Maha Pengasih, Raja Diraja Para
Pecinta, Engkau yang menganugerahkan cinta, aku hanya mohon kepada-Mu satu hal
saja,”Tinggikanlah cintaku sedemikian rupa sehingga, sekalipun aku binasa,
cintaku dan kekasihku tetap hidup.” Ayahnya kemudian tahu bahwa tak ada lagi
yang bisa ia lakukan untuk anaknya.

Sepulah dari menuanaikan Haji, Majnun mengembara dan berjalan tidak tentu arah. Majnun hidup di reruntuhan bangunan tua sembari mengumandangkan syair-syair cinta kepada Laila. Badannya semakin kurus dan tak terurus ibarat kulit membungkus tulang. Dan mulai saat itu ayah dan sahabatnya tidka mengetahui keadaan Majnun lagi. Majnun bak hilang ditelan bumi bahkan telah dikabarkan mati dibunuh oleh binatang-bingan padang pasir.

Suatu hari, seorang musafir melewati reruntuhan bangunan itu dan melihat ada
sesosok aneh yang duduk di salah sebuah tembok yang hancur. Seorang liar dengan
rambut panjang hingga ke bahu, jenggotnya panjang dan acak-acakan, bajunya
compang-camping dan kumal. Ketika sang musafir mengucapkan salam dan tidak
beroleh jawaban, ia mendekatinya. Ia melihat ada seekor serigala tidur di
kakinya. “Hus” katanya, ‘Jangan bangunkan sahabatku.” Kemudian, ia mengedarkan
pandangan ke arah kejauhan.

Sang musafir pun duduk di situ dengan tenang. Ia menunggu dan ingin tahu apa
yang akan terjadi. Akhimya, orang liar itu berbicara dengan syair-syair indah. Segera saja ia pun tahu bahwa ini adalah Majnun yang terkenal itu, dengan berbagai macam perilaku anehnya yang dibicarakan orang di seluruh jazirah Arab. Tampaknya, Majnun tidak kesulitan menyesuaikan diri dengan kehidupan dengan binatang-binatang buas dan liar. Dalam kenyataannya, ia sudah menyesuaikan diri dengan sangat baik sehingga
lumrah-lumrah saja melihat dirinya sebagai bagian dari kehidupan liar dan buas
itu.

Binatang-binatang liar dan buas semakin tertarik dengan majnun. Disamping para binatang yakin bahwa Majnun tidak akan mencelakainya, binatang-bintanag tersebut terus mengikuti dan mendekat kepada Majnun karena ining mendengarkan senandung rindu dan syair rimantis yang setiap saat keluar dari mult majnun.

Kemasyhura Majnun terkenal seantero Arab. Sehingga banyak orang yang mengunjungi. Baik karena iba maupun karena mendengar syair-syairnya. Salah seorang dari pengunjung itu adalah seorang ksatria gagah berani bernama ‘Amar, yang berjumpa dengan Majnun dalam perjalanannya menuju Mekah. Meskipun ia sudah mendengar kisah cinta yang sangat terkenal itu di kotanya, ia ingin sekali mendengarnya dari mulut Majnun sendiri.

Drama kisah tragis itu membuatnya sedemikian pilu dan sedih sehingga ia
bersumpah dan bertekad melakukan apa saja yang mungkin untuk mempersatukan dua
kekasih itu, meskipun ini berarti menghancurkan orang-orang yang menghalanginya!
Kaetika Amr kembali ke kota kelahirannya, Ia pun menghimpun pasukannya. Pasukan
ini berangkat menuju desa Laila dan menggempur suku di sana tanpa ampun. Banyak
orang yang terbunuh atau terluka.

Ketika pasukan ‘Amr hampir memenangkan pertempuran, ayah Laila mengirimkan
pesan kepada ‘Amr, “Jika engkau atau salah seorang dari prajuritmu menginginkan
putriku, aku akan menyerahkannya tanpa melawan. Bahkan, jika engkau ingin
membunuhnya, aku tidak keberatan. Namun, ada satu hal yang tidak akan pernah
bisa kuterima, jangan minta aku untuk memberikan putriku pada orang gila itu”.
Majnun mendengar pertempuran itu hingga ia bergegas kesana. Di medan
pertempuran, Majnun pergi ke sana kemari dengan bebas di antara para prajurit
dan menghampiri orang-orang yang terluka dari suku Laila. Ia merawat mereka
dengan penuh perhatian dan melakukan apa saja untuk meringankan luka mereka.

Amr pun merasa heran kepada Majnun, ketika ia meminta penjelasan ihwal mengapa
ia membantu pasukan musuh, Majnun menjawab, “Orang-orang ini berasal dari desa
kekasihku. Bagaimana mungkin aku bisa menjadi musuh mereka?” Karena sedemikian
bersimpati kepada Majnun, ‘Amr sama sekali tidak bisa memahami hal ini. Apa yang
dikatakan ayah Laila tentang orang gila ini akhirnya membuatnya sadar. Ia pun
memerintahkan pasukannya untuk mundur dan segera meninggalkan desa itu tanpa
mengucapkan sepatah kata pun kepada Majnun.

Laila semakin merana dalam penjara kamarnya sendiri. Satu-satunya yang bisa ia
nikmati adalah berjalan-jalan di taman bunganya. Suatu hari, dalam perjalanannya
menuju taman, Ibn Salam, seorang bangsawan kaya dan berkuasa, melihat Laila dan
serta-merta jatuh cinta kepadanya. Tanpa menunda-nunda lagi, ia segera mencari
ayah Laila. Merasa lelah dan sedih hati karena pertempuran yang baru saja
menimbulkan banyak orang terluka di pihaknya, ayah Laila pun menyetujui
perkawinan itu.

Tentu saja, Laila menolak keras. Ia mengatakan kepada ayahnya, “Aku lebih
senang mati ketimbang kawin dengan orang itu.” Akan tetapi, tangisan dan
permohonannya tidak digubris. Lantas ia mendatangi ibunya, tetapi sama saja
keadaannya. Perkawinan pun berlangsung dalam waktu singkat. Orangtua Laila
merasa lega bahwa seluruh cobaan berat akhirnya berakhir juga.

Akan tetapi, Laila menegaskan kepada suaminya bahwa ia tidak pernah bisa
mencintainya. “Aku tidak akan pernah menjadi seorang istri,” katanya. “Karena
itu, jangan membuang-buang waktumu. Carilah seorang istri yang lain. Aku yakin,
masih ada banyak wanita yang bisa membuatmu bahagia.” Sekalipun mendengar
kata-kata dingin ini, Ibn Salam percaya bahwa, sesudah hidup bersamanya beberapa
waktu larnanya, pada akhirnya Laila pasti akan menerimanya. Ia tidak mau memaksa
Laila, melainkan menunggunya untuk datang kepadanya.

Ketika kabar tentang perkawinan Laila terdengar oleh Majnun, ia menangis dan
meratap selama berhari-hari. Ia melantunkan lagu-Iagu yang demikian menyayat
hati dan mengharu biru kalbu sehingga semua orang yang mendengarnya pun ikut
menangis. Derita dan kepedihannya begitu berat sehingga binatang-binatang yang
berkumpul di sekelilinginya pun turut bersedih dan menangis. Namun, kesedihannya
ini tak berlangsung lama, sebab tiba-tiba Majnun merasakan kedamaian dan
ketenangan batin yang aneh. Seolah-olah tak terjadi apa-apa, ia pun terus
tinggal di reruntuhan itu. Perasaannya kepada Laila tidak berubah dan malah
menjadi semakin lebih dalam lagi.

Dengan penuh ketulusan, Majnun menyampaikan ucapan selamat kepada Laila atas
perkawinannya: “Semoga kalian berdua selalu berbahagia di dunia ini. Aku hanya
meminta satu hal sebagai tanda cintamu, janganlah engkau lupakan namaku,
sekalipun engkau telah memilih orang lain sebagai pendampingmu. Janganlah pernah
lupa bahwa ada seseorang yang, meskipun tubuhnya hancur berkeping-keping, hanya
akan memanggil-manggil namamu, Laila”.

Sebagai jawabannya, Laila mengirimkan sebuah anting-anting sebagai tanda
pengabdian tradisional. Dalam surat yang disertakannya, ia mengatakan, “Dalam
hidupku, aku tidak bisa melupakanmu barang sesaat pun. Kupendam cintaku demikian
lama, tanpa mampu menceritakannya kepada siapapun. Engkau memaklumkan cintamu
ke seluruh dunia, sementara aku membakarnya di dalam hatiku, dan engkau
membakar segala sesuatu yang ada di sekelilingmu” . “Kini, aku harus
menghabiskan hidupku dengan seseorang, padahal segenap jiwaku menjadi milik
orang lain. Katakan kepadaku, kasih, mana di antara kita yang lebih dimabuk
cinta, engkau ataukah aku?.

Tahun demi tahun berlalu, dan orang-tua Majnun pun meninggal dunia. Ia tetap
tinggal di reruntuhan bangunan itu dan merasa lebih kesepian ketimbang
sebelumnya. Di siang hari, ia mengarungi gurun sahara bersama sahabat-sahabat
binatangnya. Di malam hari, ia memainkan serulingnya dan melantunkan
syair-syairnya kepada berbagai binatang buas yang kini menjadi satu-satunya
pendengarnya. Ia menulis syair-syair untuk Laila dengan ranting di atas tanah.
Selang beberapa lama, karena terbiasa dengan cara hidup aneh ini, ia mencapai
kedamaian dan ketenangan sedemikian rupa sehingga tak ada sesuatu pun yang
sanggup mengusik dan mengganggunya.

Sebaliknya, Laila tetap setia pada cintanya. Ibn Salam tidak pernah berhasil
mendekatinya. Kendatipun ia hidup bersama Laila, ia tetap jauh darinya. Berlian
dan hadiah-hadiah mahal tak mampu membuat Laila berbakti kepadanya. Ibn Salam
sudah tidak sanggup lagi merebut kepercayaan dari istrinya. Hidupnya serasa
pahit dan sia-sia. Ia tidak menemukan ketenangan dan kedamaian di rumahnya.
Laila dan Ibn Salam adalah dua orang asing dan mereka tak pernah merasakan
hubungan suami istri. Malahan, ia tidak bisa berbagi kabar tentang dunia luar
dengan Laila.

Tak sepatah kata pun pernah terdengar dari bibir Laila, kecuali bila ia
ditanya. Pertanyaan ini pun dijawabnya dengan sekadarnya saja dan sangat
singkat. Ketika akhirnya Ibn Salam jatuh sakit, ia tidak kuasa bertahan, sebab
hidupnya tidak menjanjikan harapan lagi. Akibatnya, pada suatu pagi di musim
panas, ia pun meninggal dunia. Kematian suaminya tampaknya makin mengaduk-ngaduk
perasaan Laila. Orang-orang mengira bahwa ia berkabung atas kematian Ibn Salam,
padahal sesungguhnya ia menangisi kekasihnya, Majnun yang hilang dan sudah lama
dirindukannya.

Selama bertahun-tahun, ia menampakkan wajah tenang, acuh tak acuh, dan hanya
sekali saja ia menangis. Kini, ia menangis keras dan lama atas perpisahannya
dengan kekasih satu-satunya. Ketika masa berkabung usai, Laila kembali ke rumah
ayahnya. Meskipun masih berusia muda, Laila tampak tua, dewasa, dan bijaksana,
yang jarang dijumpai pada diri wanita seusianya. Semen tara api cintanya makin
membara, kesehatan Laila justru memudar karena ia tidak lagi memperhatikan
dirinya sendiri. Ia tidak mau makan dan juga tidak tidur dengan baik selama
bermalam-malam.

Bagaimana ia bisa memperhatikan kesehatan dirinya kalau yang dipikirkannya
hanyalah Majnun semata? Laila sendiri tahu betul bahwa ia tidak akan sanggup
bertahan lama. Akhirnya, penyakit batuk parah yang mengganggunya selama beberapa
bulan pun menggerogoti kesehatannya. Ketika Laila meregang nyawa dan sekarat, ia
masih memikirkan Majnun. Ah, kalau saja ia bisa berjumpa dengannya sekali lagi
untuk terakhir kalinya! Ia hanya membuka matanya untuk memandangi pintu
kalau-kalau kekasihnya datang. Namun, ia sadar bahwa waktunya sudah habis dan ia
akan pergi tanpa berhasil mengucapkan salam perpisahan kepada Majnun. Pada suatu
malam di musim dingin, dengan matanya tetap menatap pintu, ia pun meninggal
dunia dengan tenang sambil bergumam, Majnun…Majnun. .Majnun.

Kabar tentang kematian Laila menyebar ke segala penjuru negeri dan, tak lama
kemudian, berita kematian Lailapun terdengar oleh Majnun. Mendengar kabar itu,
ia pun jatuh pingsan di tengah-tengah gurun sahara dan tetap tak sadarkan diri
selama beberapa hari. Ketika kembali sadar dan siuman, ia segera pergi menuju
desa Laila. Nyaris tidak sanggup berjalan lagi, ia menyeret tubuhnya di atas
tanah. Majnun bergerak terus tanpa henti hingga tiba di kuburan Laila di luar
kota . Ia berkabung dikuburannya selama beberapa hari.

Ketika tidak ditemukan cara lain untuk meringankan beban penderitaannya,
per1ahan-lahan ia meletakkan kepalanya di kuburan Laila kekasihnya dan meninggal
dunia dengan tenang. Jasad Majnun tetap berada di atas kuburan Laila selama
setahun. Belum sampai setahun peringatan kematiannya ketika segenap sahabat dan
kerabat menziarahi kuburannya, mereka menemukan sesosok jasad terbujur di atas
kuburan Laila. Beberapa teman sekolahnya mengenali dan mengetahui bahwa itu
adalah jasad Majnun yang masih segar seolah baru mati kemarin. Ia pun dikubur di
samping Laila. Tubuh dua kekasih itu, yang kini bersatu dalam keabadian, kini
bersatu kembali.

Disadur dari buku Laila Majnun karangan Syaikh Sufi Mawlana Hakim Nizhami qs

1 komentar:

  1. wahh.. kisahnya seru banget yah..

    ane izin copas and share gan..

    mampir juga ke kediaman ya...

    BalasHapus